Covid-19 memang penuh misteri, ia sanggup mengubah tatatan dunia secara radikal, tanpa pandang bulu suku bangsa dan ras, agama, jenis kelamin, jenjang usia serta karir.
Tak peduli pejabat atau kaum papa sekalipun, si covid-19 seolah semau gue hinggap dan menjangkiti inangnya tanpa permisi.
Tak sedikit yang kemudian dinyatakan positif, kita bisa melihat data-data yang berseliweran di dunia maya, baik itu data positif yang mengakibatkan sikorban hanya diisolasi atau bahkan meninggal.
Tak ada yang tau pasti kapan wabah Covid-19 ini berakhir, seperti sama tidak tahunya kita siapa nama virus ini sebenarnya. Nama Covid-19 ini yang memberikan adalah manusia, bukan atas perkenalan mereka sendiri.
Yang jelas, berbagai upaya telah dilakukan, dari di berlakukannya sosial distance (jaga jarak) sampai lockdown alias PSBB. Bahkan kini vaksin untuk virus Covid-19 ini juga sudah ditemukan dan disuntikkan ke masyarakat.
Tujuan masyarakat dunia ini hanya satu, yaitu supaya wabah covid tidak menjadi wabah berkepanjangan yang mengakibatkan sendi-sendi kehidupan berubah total dan menuju pada tatanan normal seperti dahulu kala, cara hidup manusia sebelum datangnya wabah ini.
Pro kontra selalu terjadi pada segala sesuatu yang menjadi konsumsi publik. la kok covid, persoalan duluan mana antara ayam dan telur saja masih menjadi perdebatan bahkan dewasa ini masih juga yang mempersoalkan bentuk bumi, ada yang berkeyakinan datar dan ada yang mengatakan bulat (elip). Ini adalah kewajaran dalam kebudayaan manusia. Selama masih bisa didebat ya didebat saja.
Pengaruh Covid Bagi Ekonomi Orang Desa
Ganteng-ganteng begini, saya adalah orang yang terlahir dan hidup di desa. Meski saya tidak bisa dikatakan ndesit (kampungan) tapi jika bileh jujur saya lebih senang hidup di desa daripada di kota.
Kota memang gahul, segala peradaban terkumpul di kota (biasanya), namun meski kehidupan kota boleh dikatakan mentereng, namun kota adalah persoalan manusia sebenarnya.
Seperti halnya saat terjadi wabah covid-19 ini, siapa yang paling merasakan dampak dari adanya kebijakan pembatasan aktivitas manusia di ruang publik? saya pastikan adalah orang-orang yang berada di kota.
Kota itu ramai, tapi sempit, tidak banyak ruang yang bisa dijadikan sebagai ruang hidup sumber-sumber makanan. Katakanlah ketela pohon, tidak lazim apabila tumbuh di samping mall-mall atau tempat dugem. Ketela lazim tumbuh di pekarangan samping rumah.
Jengkol, Pete, Jagung, Sayur-sayuran tumbuh subur di kebun-kebun masyarakat desa yang notabene memiliki pekarangan di samping rumah. Tumbuhan ini menjadi tabungan keluarga petani untuk bisa survive.
Faktanya memang begitu, jika mau dibandingkan efek dari lockdown antara orang desa dan orang kota, yang paling bisa bertahan adalah orang desa, mereka punya cadangan makanan untuk jangka waktu lama.
Berbeda dengan orang kota yang sekiranya kehidupannya bergantung pada kerja menjadi karyawan, mereka akan sangat terpengaruh dengan adanya pembatasan. Sumber kehidupan mereka dari gaji untuk ditukarkan menjadi kebutuhan makan.
Orang desa meski tidak semua bisa dikatakan ada, tapi mereka bisa mencari daun ketela atau daun kates di pekarangan untuk memenuhi kebutuhan makan sayur. Ibarat makan seadanya, mereka bisa memenuhi kebutuhan makan.
Tapi bagi orang kota, tanpa adanya gaji mereka berharap pada apa, untung jika mereka punya tabungan. Maka hal lazim ketika diterbitkannya aturan pembatasan wilayah, notabene yang mereka serang adalah tempat-tempat penyedia makanan.
Mereka banyak membeli kebutuhan makan sebagai simpanan jika saja nanti, tidak ada lagi orang yang bisa menyediakan makanan.
Namun separah apapun perubahan sosial kita saat pandemi, semoga ini cepat berakhir. Artikel ini hanya ingin menyampaikan bahwa, hidup di manapun itu sama saja, bukan ketika hidup di desa, kita dengan mudah dicap sebagai orang kolot lagi kampungan.
Sekarang kita bisa merasakannya sendiri.
0 Response to "Efek Kebijakan Lockdown Terhadap Ekonomi Orang Desa"
Post a Comment